MENSYUKURI NIKMAT

“INNAA A THOINAAKA AL-KAUTSAR, FASHOLLI LI ROBBIKA WA AN-HAR, INNASYAA NI’AKA HUWA AL-ABTAR” (QS AL-KAUTSAR: 1-3). Sesungguhnya kami telah menurunkan kepada engkau (Muhammad), nikmat yang sungguh melimpah karena itu, maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu (Muhammad), merekalah yang terputus (dari rahmat Allah).


Apa sebenarnya arti nikmat yang banyak yang dilimpahkan kepada Muhammad SAW? Harta yang melimpah? Pakaian yang mewah gemerlapan? Istana yang megah dan mentereng seperti raja-raja atau para kaisar? Mobil atau pesawat terbang pribadi yang mahal? Apakah Muhammad memiliki itu semua? Jwabannya tentu saja tidak. Lalu kenapa firman Illahi dalam Surah Al-Kautsar itu menyatakan limpahan nikmat yang banyak?


Bukankah rumah Muhammad hanya sepanjang 12 kaki dan selebar 16 kaki? Atau hanya seluas 3 x 4 meter? Bukankah itu cuma ruangan yang sempit belaka?. Kalau diibaratkan dengan rumah zaman KPR (Kredit Pemilikan Rumah) BTN sekarang, istilahnya hanya RSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali). Kalau type rumah 21 masih lumayan, ini hanya setengahnya, 12 meter persegi !!! hingga ketika Muhammad bersujud maka ia harus menyingkirkan kaki Aisyah r.a. dahulu?


Bukankah pula Muhammad yang agung, pembawa risalah untuk menerangi dunia dari kegelapan itu kerap berpuasa karena seringkali tak mempunyai makanan?


Juga pernah suatu ketika, Muhammad Rasul Allah itu pulang larut malam, ia membawa roti kering untuk isterinya, karena sudah larut malam, ia tak tega untuk mengetuk pintu sehingga bisa mengganggu tidur isterinya, maka ia taruh rotinya di atas pintu dan beliau Muhammad tidur kedinginan di depan pintu rumah?. Keesokan harinya, Aisyah melihat ada sepotong roti di atas pintu itu dan kebetulan ada pengemis, maka diberikanlah roti yang sedianya untuk dirinya kepada pengemis itu ?


Bukankah Muhammad yang mulia itu sering terlihat mengganjal perutnya dengan 3 buah batu karena kosongnya perut untuk menahan lapar dan dahaga?


Bukankah manusia termulia dan wajah yang suci itu pernah hanya memakan daun-daunan kering dalam sebuah peperangan melawan musuh-musuh Allah?


Apa arti limpahan nikmat dan karunia yang terukir dalam ayat-ayat suci itu?


Seorang penceramah agama yang muallaf itu sudah 16 tahun menyimpan pertanyaan-pertanyaan tadi dalam benaknya yang tak pernah terjawab, meskipun sudah berbagai buku dan kamus ia baca dan pelajari, mulai dari yang tipis yang dijual murah di kaki lima, sampai kamus Al Munjid yang luar biasa itu, pun sudah berapa banyak kyai, ustadz dan ulama yang telah ia tanya, namun semuanya tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya dengan pas dan memuaskan untuk menghibur kegelisahan hatinya.


Hingga 16 tahun kemudian, Allah SWT. mengundangnya ke Baitullah. Ketika berdo’a di Raudah, ia ingat akan pertanyaan dan masalah yang menggelayut di benaknya belasan tahun, maka ia berdo’a kiranya Allah memberikan jawabannya secara langsung. Tak lama ia tertidur dengan bersandar pada tiang Raudah. Dalam tidurnya, ia dibawa ke masa silam, di hadapannya bukan lagi terbentang masjid yang gagah dan megah, melainkan hanya sebuah masjid yang amat sederhana yang hanya beratapkan daun kurma, berlantai tanah dan tiang-tiangnya disilangkan dan diikat dengan tali dedaunan. Tiba-tiba dari arah belakang seorang laki-laki berpakaian gamis putih bersih melewati bahunya dan berjalan tegap menuju ke masjid. Ketika sampai di pintu masjid, laki-laki itu membalikkan wajahnya, dan tersenyum manis menyejukkan kalbu pada sang penceramah. Sang penceramah tidak kuasa berkata apapun, kecuali hanya sebaris kalimat pendek, “ASSALAAMU’ALAIKA YAA NABI ALLAH”…dengan deraian air mata yang tak kuasa ia bendung sebagai ungkapan rasa syukur, takjub, rindu, sayang, bangga dan hormat bergalau menjadi satu.


Tiba-tiba, bahu sang penceramah ditepuk-tepuk, rupanya ia dibangunkan oleh Asykar penjaga Masjid Nabawi, bajunya nampak basah kuyup, rupanya dalam tidurnya tadi ia betul-betul menangis. Raudah ternyata memang sudah sepi, hanya tinggal dirinya sendiri yang ada disana, sehingga Asykar datang membangunkannya karena masjid akan dikunci. Para asykar yang biasanya berwajah garang itu, kali ini tampak sangat sabar dan bersahabat membimbing sang penceramah ke luar masjid.


Di luar masjid, sang penceramah hanya bisa menangis…..namun ia telah berhasil mengartikan ‘kenikmatan’ dalam Surat Al-Kautsar itu…Nabi memang mendapatkan banyak kenikmatan…tapi, yang lebih benar adalah, Nabi DIBERIKAN sebuah perasaan bahwa ia TELAH menerima banyak kenikmatan.


Ketika seseorang telah merasa mendapat nikmat yang banyak, maka banyak sedikitnya materi yang dimiliki tidak lagi menjadi ukuran dan masalah, ia merasakan kenikmatan pada apa yang dia miliki. Maka setelah Nabi mendapatkan kenikmatan ini, ayat ke dua-pun berlaku yaitu agar menegakkan shalat dan berqurban, dan bahwasanya orang-orang yang membenci risalah yang turun pada Muhammad, sebenarnya merekalah yang terputuskan dari kenikmatan dan rahmat Allah yang sesungguhnya.


Nabi sebenarnya tak hanya mempunyai 4 sifat wajib belaka, yaitu amanah, fathonah, tabligh dan shiddiq, tapi Nabi juga Qona’ah, yaitu selalu merasa cukup dengan apa yang ada yang dikaruniakan Allah SWT. sehingga itulah sebenarnya hakiki dari kenikmatan yang tiada taranya, kenikmatan yang melimpah ruah melalui penerimaan qolbu yang tulus, bersih, ikhlas tanpa prasangka buruk kepada Allah seraya penuh puji syukur kepada-Nya.


Rasulullah Muhammad saw. pada kenyataannya memang miskin dilihat dari nilai pandang duniawi, tapi Nabi senantiasa bersedekah dan berqurban jika hari raya qurban tiba, karena Nabi merasa cukup, beliau tidak pernah mengeluhkan soal harta, karena beliau telah mendapatkan nikmat, dan perasaan seperti inilah yang mesti kita miliki.

Jika kita tidak pernah merasa nikmat dengan apa yang kita miliki, maka selamanya kita akan merasa kurang, merasa miskin dan selalu haus akan materi. Dari hari ke hari kita akan melalaikan bekal akhirat kita, padahal perlombaan mengumpulkan harta itu tidaklah seperti perlombaan yang lain.


Perlombaan yang lain pasti ada target akhirnya berupa angka, jarak maupun waktu. Perlombaan lari, misalnya, juga ada finish-nya, tapi tidak dengan perlombaan mengumpulkan harta. Ia seperti air garam, yang semakin banyak diminum akan semakin membuat kita haus.


Nabi bersabda, “Seandainya manusia itu diberikan emas sebanyak dua gunung, niscaya ia akan memintanya lagi, lagi dan lagi.” Perlombaan mengumpulkan harta dan bermegah-megahan tentang dunia hanya akan berakhir ketika manusia masuk ke liang kubur, yang celakanya tidak ada lagi kesempatan baginya untuk bertobat.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepalamu sendiri. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)” (QS. At-Takatsur : 1-8)


Semoga Allah memberikan kenikmatan kepada kita yaitu kenikmatan untuk merasa bersyukur dengan apa yang telah kita miliki. Tidak berkeluh kesah akan sempitnya rizki, sehingga kita bisa senantiasa bersyukur, bersabar, ikhtiar dan terus berdo’a serta bertawakkal karena barang siapa bertawakkal maka Allah akan mencukupi keperluannya. (QS. 65:3)


Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta-minta), dan orang-orang yang mempercayai adanya hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat menjadikan orang merasa aman (dari kedatangannya).


Terlebih bagi orang-orang yang kebetulan mendapatkan kenikmatan harta dan materi berkecukupan (kaya) dari Allah SWT. sudah sepatutnya wajib mensyukuri nikmat tersebut, sebab sesungguhnya baik orang miskin maupun orang kaya, sama-sama tengah diberikan cobaan oleh Allah SWT. Jika ternyata ia tidak dapat mensyukurinya, maka ia akan menjadi orang yang sangat celaka, sebab ia akan mendapatkan siksa yang amat pedih di hari akhirat. Allah SWT. berfirman, “….Sungguh jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepadamu ; dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, sungguh adzab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7).


Lalu, bagaimana orang-orang kaya mensyukuri nikmat (kekayaannya) itu? Caranya antara lain dengan membantu melalui ZIS (Zakat, Infaq, sedekah) bagi sanak keluarganya, tetangga-tetangga dekatnya, kaum fakir miskin, anak-anak yatim, para janda yang ditinggal suaminya tanpa harta warisan. Termasuk juga bantuan bagi kegiatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di lingkungannya dan membantu perjuangan menegakkan Agama Allah (fisabilillah).


Sebaliknya, kaum miskin yang serba kekurangan dan sangat terbatas dalam menerima nikmat (materi/kekayaan) yang diberikan Allah kepadanya, tetap wajib mensyukuri nikmat Allah itu, dengan cara antara lain mencukupkan diri dengan materi yang apa adanya itu dan pantang berburuk sangka kepada Allah, bekerja keras di jalan yang halal, sabar dan tawakal menempuh segala keterbatasan yang ada, tidak iri dan dengki kepada orang lain yang kebetulan mendapat kenikmatan materi yang lebih baik, dan teguhkan kepercayaan dalam hati akan adanya nikmat yang jauh lebih besar dan abadi yang akan diberikan Allah SWT. di hari akhirat nanti. Wallahu a’lam bish shawab.


Jawad Satuju – 9 Rabiul Awal, 1424 H (11 Mei 2003 Masehi)

Kultum ba’da sholat Tarawih di Masjid Jami’ Al-Abraar, Jatiwaringin

==========================================================================================

Referensi :

1. Buku “50 Pedoman Mendidik Anak Menjadi Shalih” Drs.M.Thalib.

2. Kiat-Kiat Keluar Dari Problema Hidup, Syaikh Muhammad Al Ghazali.

3. Hiburan Bagi Orang Yang Tertimpa Musibah, Muhammad bin Muhammad Al Manjabi Al Hambali.

4. Menjadi Muslim Ideal, Dr.Muhammad Ali al-Hasyimi.

Hadits 31

Dari Abu Hurairah r.a. ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Seorang hamba yang mengatakan sepatah kata yang dia belum konfirmasikan, akan dapat menjatuhkan dirinya pada kehinaan lebih jauh dari antara timur (dan barat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)